- Back to Home »
- ekosistem estuari
Posted by : Unknown
Selasa, 03 Desember 2013
BAB
2 PEMBAHASAN
2.1.
Ekosistem Estuari
Ekosistem
estuari adalah ekosistem perairan semi-tertutup yang memiliki badan air dengan
hubungan terbuka antara perairan laut dan air tawar yang dibawa oleh sungai. Percampuran
ini terjadi paling tidak setengah waktu dari setahun. Pada wilayah tersebut
terjadi percampuran antara masa air laut dengan air tawar dari daratan,
sehingga air menjadi payau (brackish).
Wilayah ini meliputi muara sungai dan delta-delta besar, hutan mangrove dekat estuari dan hamparan lumpur dan pasir yang luas. Wilayah ini juga dapat dikatakan sebagai wilayah yang sangat dinamis. Karena selalu terjadi proses dan perubahan baik lingkungan fisik maupun biologis. Sehingga estuari memiliki sifat yang unik akibat adanya percampuran antara massa air laut dan tawar membuat tingkat salinitas yang dimiliki dapat berubah-ubah atau memiliki fluktuasi tersendiri. Berubahnya salinitas estuari dapat dipengaruhi oleh adanya pasang surut air dan musim. Selama musim kemarau, volume air sungai yang masuk berkurang, sehingga air laut dapat masuk sampai ke daerah yang lebih tinggi atau hulu dan menyebabkan salinitas yang dimiliki wilayah estuari meningkat. Sebaliknya yang terjadi apabila pada musim penghujan air tawar yang masuk dari hulu ke wilayah estuari meningkat sehingga salinitas yang dimiliki rendah (Barus, 2002).
Adanya
aliran air tawar yang terjadi terus menerus dari hulu sungai dan adanya proses
gerakan air akibat arus pasang surut yang mengangkut mineral-mineral, bahan
organik dan sedimen merupakan bahan dasar yang dapat menunjang produktifitas
perairan di wilayah estuari yang melebihi produktifitas laut lepas dan perairan
air tawar. Oleh karena itu, lingkungan wilayah estuari menjadi paling
produktif.
2.2.
Pembagian dan Macam-Macam Tipe Estuari
Estuari
sebagai sebuah ekosistem memiliki macam-macam tipe dilihat dari berbagai aspek,
yaitu:
1. Perbedaan
salinitas di wilayah estuari mengakibatkan terjadinya proses pergerakan massa
air. Air asin yang memiliki massa
jenis lebih besar dibandingkan dengan air tawar menyebabkan air asin di muara
yang berada di lapisan dasar dan
mendorong air tawar ke permukaan menuju laut. Sistem sirkulasi seperti inilah
yang menyebabkan terjadinya proses up-welling. Yaitu proses pergerakan antar massa
air laut dan tawar yang menyebabkan terjadinya stratifikasi atau
tingkatan-tingkatan salinitas. Sehingga terbentuklah beberapa tipe estuari,
yaitu:
a. Estuari
positif (baji garam)
Estuari tipe ini memiliki ciri khas
yaitu gradien salinitas di permukaan lebih rendah dibandingkan dengan salinitas
pada bagian dalam atau dasar perairan. Rendahnya salinitas di permukaan
perairan disebabkan karena air tawar yang memiliki berat jenis lebih ringan
dibanding air laut akan bergerak ke atas dan terjadi percampuran setelah beberapa saat kemudian.
Kondisi ini, juga dapat disebabkan pula oleh rendahnya proses penguapan akibat
sedikitnya intensitas matahari yang masuk pada wilayah estuari. Tipe estuari
ini dapat ditemukan di wilayah sub tropis yang mana terjadinya penguapan rendah
dan volume air tawar yang relatif banyak. Sedangkan untuk wilayah tropis
sendiri, dapat pula ditemukan tipe ini apabila terjadi musim penghujan. Yang
mana intensitas cahaya
matahari pada musim tersebut sedikit dan massa air tawar yang masuk lebih
besar(Knox, 1986).
b. Estuari
negatif
Estuaria tipe ini biasanya
ditemukan di daerah dengan sumber air tawar yang sangat sedikit dan penguapan
sangat tinggi seperti di daerah iklim gurun pasir. Keadaan dari estuari tipe
ini dikarenakan oleh air laut yang masuk ke daerah muara sungai melewati
permukaan sehingga mengalami sedikit pengenceran karena bercampur dengan air
tawar yang terbatas jumlahnya. Lalu tingginya intensitas cahaya matahari
menyebabkan penguapan sangat cepat sehingga
air
permukaan hipersalin (banyak mengandung garam) (Knox, 1986).
c. Estuari
sempurna
Percampuran sempurna menghasilkan
salinitas yang sama secara vertical dari permukaan sampai ke dasar perairan
pada setiap titik. Estuaria seperti ini kondisinya sangat tergantung dari beberapa
faktor antara lain: volume percampuran masa air, pasang surut, musim, tipe
mulut muara dan berbagai kondisi khusus lainnya. Estuaria percampuran sempurna
kadang terjadi atau ditemukan di daerah tropis khususnya ketika volume dan
kecepatan aliran air tawar yang masuk ke daerah muara seimbang dengan pasang
air laut serta ditunjang dengan mulut muara yang lebar dan dalam (Knox, 1986).
2. Berdasarkan
geomorfologi, iklim, dan sejarah geologinya estuari dibagi menjadi beberapa
tipe, yaitu:
a. Estuari
dataran pesisir
Estuari ini terbentuk pada akhir
jaman es, ketika permukaan laut menggenangi lembah sungai yang letaknya lebih rendah
dibanding dengan
permukaan laut itu sendiri.
b. Estuari
tektonik
Terjadi karena turunnya permukaaan
daratan sehingga daerah tertentu khususnya didekat pantai digenangi air.
c. Estuari
semi-tertutup (gobah)
Terbentuk karena adanya gumuk pasir yang
sejajar dengan garis pantai dan sebagian wilayahnya memisahkan perairan yang
terdapat dibelakang
gumuk dengan air laut. Keadaan ini menyebabkan terbentuknya gumuk yang
merupakan tempat penampungan bagi air tawar dari daratan. Salinitas yang
terdapat dalam gobah bervariasi tergantung keadaan iklim, ada tidaknya aliran
sungai yang masuk, dan luas wilayah gumuk pasir membatasi masuknya aliran air
laut yang masuk.
d. Fjord
Tipe ini sebenarnya adalah lembah yang telah
mengalami pendalaman akibat gleiser. Kemudian kubangan yang terbentuk digenangi
air laut. Tipe ini memiliki ciri khas berupa suatu ambang yang dangkal pada
mulut muaranya (Kramer
et al, 1994).
2.2.
Jenis Flora dan Fauna (komponen biotik) yang hidup di ekosistem perairan Estuari
Lingkungan
estuari merupakan kawasan yang sangat penting bagi berjuta hewan dan
tumbuhan. Pada daerah-daerah tropis seperti di lingkungan estuari umumnya
di tumbuhi dengan tumbuhan khas yang disebut Mangrove. Tumbuhan ini mampu
beradaptasi dengan genangan air laut yang kisaran salinitasnya cukup lebar.
Pada habitat mangrove ini lah kita akan menemukan berjuta hewan yang hidupnya
sangat tergantung dari kawasan lingkungan ini.
Komponen
biotik merupakan komponen-komponen yang terdiri atas makhluk hidup. Komponen
biotik yang terdapat pada Ekosistem Estuari dapat dikelompokan menjadi:
a. Organisme
autotrop, merupakan organisme yang dapat mengubah bahan organik menjadi
anorganik (dapat membuat makanan sendiri). Organisme autotrop dibedakan menjadi
dua tipe:
-
Fotoautotrop adalah
organisme yang dapat menggunakan sumber energi cahaya untuk mengubah bahan
anorganik menjadi bahan organik. Contohnya adalah tumbuhan hijau pada ekosistem
estuari.
-
Kemoautotrop adalah
organisme yang dapat memanfaatkan energi dari reaksi kimia untuk membuat makanan
sendiri dari bahan organik
(Welch,
1953).
Berbagai organisme autotrof ini
bertindak sebagai produsen, karena kemampuannya untuk mengubah zat anorganik
menjadi organik yang dibutuhkan oleh organisme lain yang dapat pula disebut
sebagai produsen. Di dalam ekosistem estuari dapat dijumpai berbagai
jenis produsen primer. Pada paparan pasir atau lumpur, dapat dijumpai lamun (Enhalus acoroides) yang merupakan
tumbuhan berbunga, dan beberapa jenis alga, antara lain alga berfilamen seperti
Enteromorpha sp. dan Padina sp. Di dalam kolam air estuari
dijumpai fitoplankton, seperti diatom atau dinoflagellata.
b. Organisme
heterotrop, adalah organisme yang memperoleh bahan organik dari organisme lain.
Contohnya hewan, jamur, dan bakteri non autotrop dapat disebut sebagai konsumen.
Estuari kaya
akan sumber makanan bagi konsumen primer dari rantai makanan. Sumber makanan
utama diperoleh dari besarnya jumlah detritus yang melimpah di dalam kolam air
dan di dasar estuari. Sebagian besar hewan konsumen primer terdapat di dasar
estuari, seperti teritip (Krustasea, Cirripedia), kerang dan keong (Bivalvia
dan Gastropoda) yang berada di permukaan dasar estuari, ataupun hewan lainnya
yang hidup di dalam lumpur, seperti cacing. Juga tak kalah dengan predator
besar, seperti: Baronang, Kerapu, Kepiting, Cucut,
dan Salmon (Nontji,
1993).
c.
Organisme Pengurai atau dekomposer
Pengurai
atau dekomposer adalah organisme yang menguraikan bahan organik yang berasal
dari organisme mati. Pengurai disebut juga konsumen makro (sapotrof) karena
makanan yang dimakan berukuran lebih besar. Organisme pengurai menyerap
sebagian hasil penguraian tersebut dan melepaskan bahan-bahan yang sederhana
yang dapat digunakan kembali oleh produsen. Termasuk pengurai di daerah estuari
adalah kepiting, kerang-kerangan, bakteri, cacing laut, dan jamur.
Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran
salinitas yang cukup lebar (eurihaline), estuari menyimpan berjuta keunikan
yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah
organisme yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Dan
yang paling penting adalah lingkungan perairan estuari merupakan lingkungan
yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi unsur terpenting bagi pertumbuhan
fitoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari keunikan lingkungan estuari.
Sebagai kawasan yang sangat kaya akan unsur hara
(nutrient) estuari di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground)
bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve, Echinodermata, annelida
dan masih banyak lagi kelompok infauna). Dibandingkan dengan tempat lain,
spesies estuaria sangat sedikit.
Variasi sifat habitat terutama salinitas membuat
estuaria menjadi habitat yang keras dan sangat menekan bagi kehidupan
organisme. Untuk dapat hidup dan berhasil membentuk koloni di daerah ini
organisme harus mempunyai kemampuan untuk beradaptasi secara khusus.
Adapun bentuk adaptasi tersebut adalah:
a.
Adaptasi
Morfologis
Organisme yang mendiami substrat berlumpur sering kali
beradaptasi dengan membentuk rumbai-rumbai halus atau rambut atau setae yang
menjaga jalan masuk ke ruang pernapasan agar permukaan ruang pernapasan tidak
tersumbat oleh partikel Lumpur. Organisme yang memiliki kemampuan adaptasi
seperti ini adalah kepiting estuaria, dan beberapa anggauta dari Gastropoda.
Adaptasi yang lain adalah ukuran tubuh. Organisme
estuaria umumnya mempunyai ukuran tubuh lebih kecil dibandingkan dengan
kerabatnya yang hidup di laut. Contohnya adalah kepiting (Ucha) yang
memiliki ukuran kecil, hal ini terjadi karena sebagian besar energi yang
dimilikinya dipergunakan untuk beradaptasi menyesuaikan dengan kadar garam
lingkungan.
b.
Adaptasi
Fisiologis
Adaptasi yang diperlukan untuk kelangsungan hidup
organisme estuaria adalah berhubungan dengan keseimbangan ion cairan tubuh
menghadapi fluktuasi salinitas eksternal. Kemampuan osmoregulasi sangat
diperlukan untuk dapat bertahan hidup. Organisme yang memiliki kemampuan
osmoregulasi dengan baik disebut osmoregulator contohnya Copepoda, Cacing
Polychaeta dan Mollusca. Organisme yang memiliki kemampuan
osmoregulasi rendah disebut osmokonformer. Kemampuan mengatur osmosis menurut
beberapa ahli sangat dipengaruhi oleh suhu. Di daerah tropic dengan suhu air
lebih tinggi dan perbedaan suhu antara air tawar dan air laut kecil, biasanya
dihuni oleh species estuaria lebih banyak, dan species lautan yang stenohalin
dapat masuk lebih jauh ke hulu.
c.
Adaptasi Tingkah
laku
Salah satu bentuk adaptasi tingkah laku yang dilakukan
oleh organisme estuaria adalah membuat lubang ke dalam Lumpur. Ada dua
keuntungan yang didapatkan dari organisme yang beradaptasi seperti ini.
Pertama, adalah dalam pengaturan osmosis. Keberadaan di dalam lubang berarti
mempunyai kesempatan untuk berhubungan dengan air interstitial yang mempunyai
variasi salinitas dan suhu lebih kecil dari pada air di atasnya. Kedua,
membenamkan diri ke dalam substrat berarti lebih kecil kemungkinan organisme
ini dimakan oleh pemangsa yang hidup di permukaan substrat atau di kolam air.
Adaptasi tingkahlaku lainnya adalah dengan cara
bergerak ke hulu atau ke hilir. Tingkahlaku ini akan menjaga organisme tetap
berada pada daerah dengan kisaran toleransinya. Contohnya beberapa species
kepiting seperti Rajungan (Calinectes sapidus), ikan belanak (Mugil
mugil), Ikan baung, Ikan bandeng dan lain-lain (Kramer,
1994).
2.4. Aliran energi dan materi di
Estuaria
1. Aliran Energi
Dalam ilmu ekologi aliran
energi ini terdapat dua hal yang perlu dikaji yaitu: rantai makanan dan
jaring-jaring makanan.
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari
sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan
(tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90%
energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai
makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai
makanan semakin besar energi yang diperlukan .
Pada ekosistem estuaria dikenal 3 (tiga ) tipe rantai
makanan yang didefinisikan berdasarkan bentuk makanan atau bagaimana makanan
tersebut dikonsumsi : grazing, detritus dan osmotik. Fauna diestuaria, seperti
udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling
terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang kompleks (Komunitas
tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan
fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting,
dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan
estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar.
Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu
unggas air.
Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food
chain). Misalnya: tumbuhan
2. Rantai makanan sisa (detritus food
chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa)
predator.
3. osmotik
Dari ketiga macam rantai makanan ini, akan
mempengaruhi organisme satu dengan lainnya.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling
terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas.
Selain itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organisme yang
melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (cahaya matahari,
phytoplankton, zooplankton, larva ikan, ikan kecil, ikan besar, binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah
sama banyak seperti jenis/spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang
mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada
pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut memperbaiki mekanisme
pembentukannya. Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis
tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan trophic di dalam suatu rantai
makanan.
Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam
rantai makanan yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab
phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting,
dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme
tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya
rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini
penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat
berlindungnya (tidal flat; pantai berlumpur).
Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan
mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom
air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan
bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus.
Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian
menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus.
Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria
merupakan produksi bersih dari detritus ini. Fauna di estuaria, seperti ikan,
kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait
melalui suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2001).
Pada kawasan-kawasan subtripic sampai daerah dingin,
fungsi estuary bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi berjuta hewan
penting, bahkan menjadi titik daerah ruaya bagi jutaan jenis burung pantai.
Kawasan estuary di gunakan sebagai daerah istrahat bagi perjalanan panjang
jutaan burung dalam ruayanya mencari daerah yang ideal untuk perkembanganya.
Disamping itu juga di gunakan oleh sebagian besar mamalia dan hewan-hewan
lainnya untuk mencari makan.
Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh
lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar
dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi
kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis
yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies
fauna, estuaria juga miskin akan flora.
3.
Jaring-jaring makanan
Estuari merupakan tempat
perawatan dan penyediaan makanan bagi ikan-ikan muda yang mempunyai arti
ekonomi tinggi, antara lain ikan muda herrinh (Clupea harengus), ikan pipih (flat fish) mencakup Pleuronectes platessa, dan Platichthys flexus, Bothus lunatus, flounders, serta ikan halibut antara lain Hippoglossus hippoglossus dan Arnaglossus imperalis, dan ikan
menhaden, Brevoortia tyranus. Ikan
pipih, ikan halibut, dan ikan menhaden itu bertelur di estuary. Ikan-ikan
dewasa ditemukan di dasar muara sungai yang tidak ada arus yang kuat. Pada saat
air pasang ikan-ikan ikut naik ke atas dan masuk di estuari. Ikan-ikan muda
mendapat perawatan dan makanan di estuari yang kaya makanan. Jaring-jaring
makanan ikan dalam estuari dapat dilukiskan sebagai berikut.
Vegetasi (Spartina sp., Juncus sp., Destichlis sp.,
Puccinella sp., Enteromorpha sp., Zoostera sp., Salicarma sp., Armeria sp.,
Spergularia sp., Limonium sp.,) yang hidup di estuari itu jarang sekali
dimakan herbivora. Juga bila ada pohon bakau, maka tumbuhan itu juga tidak
dimakan hewan. Oleh sebab itu perairan estuari dan juga payau-payau itu
sebenarnya merupakan daerah yang kaya makanan bagi plankton dan invertebrata
yang merupakan makanan bagi ikan. Vegetasi di daerah estuari juga menyediakan
makanan bagi belalang, dan gastropoda yang jumlahnya biasanya tinggi di musim
panas justru di waktu ikan-ikan itu bertelur dan berbiak cepat dengan persediaan
makanan yang berlimpah (Brotowidjojo,
1995).
4.
Aliran Materi
a.
Siklus Karbon
Di atmosfer terdapat kandungan CO2 sebanyak
0.03%. Sumber-sumber CO2 di udara berasal dari respirasi manusia dan
hewan, erupsi vulkanik, pembakaran batubara, dan asap pabrik. Karbondioksida di
udara dimanfaatkan oleh tumbuhan untuk berfotosintesis dan menghasilkan oksigen
yang nantinya akan digunakan oleh manusia dan hewan untuk berespirasi.
Hewan dan tumbuhan yang mati, dalam waktu yang lama
akan membentuk batubara di dalam tanah. Batubara akan dimanfaatkan lagi sebagai
bahan bakar yang juga menambah kadar CO2 di udara. Di ekosistem
air,pertukaran CO2 dengan atmosfer berjalan secara tidak langsung.
Karbondioksida berikatan dengan air membentuk asam karbonat yang akan terurai
menjadi ion bikarbonat. Bikarbonat adalah sumber karbon bagi alga yang
memproduksi makanan untuk diri mereka sendiri dan organisme heterotrof
lain.Sebaliknya, saat organisme air berespirasi, CO2 yang mereka
keluarkan menjadi bikarbonat. Jumlah bikarbonat dalam air adalah seimbang
dengan jumlah CO2 di air.
Gambar 1.
Diagram dari siklus karbon
Angka dengan warna hitam menyatakan berapa banyak
karbon tersimpan dalam berbagai reservoir, dalam milyar ton ("GtC"
berarti Giga Ton Karbon). Angka dengan warna biru menyatakan berapa banyak
karbon berpindah antar reservoir setiap tahun. Sedimen, sebagaimana yang
diberikan dalam diagram, tidak termasuk ~70 juta GtC batuan karbonat dan
kerogen. Keberadaan karbon di pantai sumbernya oleh (Dahuri et al, 2001) menggambarkan datang dari adanya
diffusi (dissolved), organisme laut yang sudah mati (particulate), dan
sampah-sampah di wilayah estuari serta berasal dari daratan.
Kontribusi aliran karbon dari daratan adalah C/N >
10, sedangkan dari perairan sendiri sebesar C/N < 6, penyebabnya tingginya
variasi tersebut diakibatkan oleh tingginya pasokan air tawar dari sungai dan
sumber karbon itu sendiri (Bengen, 2001).
Selanjutnya, sumber di dalam (internal sources) akibat adanya proses dissolved
dan particulate (gambar 6) dari karbon itu sendiri termasuk daur ulang
partikel, exudation from producers, terlepas sel yang patah dan kotoran-kotoran
konsumer (Dahuri et al, 2001).
b.
Siklus Nitrogen
Gas nitrogen banyak terdapat di atmosfer, yaitu 80%
dari udara. Nitrogen bebas dapat ditambat/difiksasi terutama oleh tumbuhan yang
berbintil akar (misalnya jenis polongan) dan beberapa jenis ganggang. Nitrogen
bebas juga dapat bereaksi dengan hidrogen atau oksigen dengan bantuan kilat/
petir. Tumbuhan memperoleh nitrogen dari dalam tanah berupa amonia (NH3),
ion nitrit (NO2- ), dan ion nitrat (NO3-
). Gas nitrogen tidak dapat digunakan secara langsung oleh sebagian besar
organisme sebelum ditransformasi yang melibatkan menjadi senyawa NH3,
NH4, dan NO3 sebelum digunakan dalam siklus.
Pada tumbuhan dan hewan, senyawa nitrogen ditemukan
sebagai penyusun protein dan klorofil. Dalam ekosistem terdapat suatu daur
antara organisme dan lingkungan fisiknya. Beberapa bakteri yang dapat menambat
nitrogen terdapat pada akar Legum dan akar tumbuhan lain, misalnya Marsiella
crenata. Selain itu, terdapat bakteri dalam tanah yang dapat mengikat
nitrogen secara langsung, yakni Azotobacter sp. yang bersifat aerob dan Clostridium
sp. yang bersifat anaerob.Nostoc sp. dan Anabaena sp.
(ganggang biru) juga mampu menambat nitrogen. Di dalam setiap daur, terdapat
gudang cadangan utama unsur yang secara terus menerus bergerak masuk dan keluar
melewati organisme. Selain itu, terdapat pula tempat pembuangan sejumlah unsur
kimia tertentu yang tidak dapat didaur ulang melalui proses biasa. Dalam waktu
yang lama, kehilangan bahan kimia tersebut menjadi faktor pembatas, kecuali
apabila tempat pembuangan itu dimanfaatkan kembali. Pada akhirnya, daur bolak
balik ini cenderung mempunyai mekanisme umpan balik yang dapat mengatur dirinya
sendiri (self regulating) yang menjaga siklus tersebut agar tetap
seimbang. Diantara beberapa siklus biogeokimia lainnya seperti siklus fosfor
dan sulfur, siklus nitrogen adalah siklus biokimia yang sangat kompleks. Gambar
berikut memperlihatkan tiga diagram siklus nitrogen yang sangat kompleks
tersebut. Nitrogen di perairan sebagai molekul N2 terlarut, amonium
, Nitrit , Nitrat dan sebagai bentuk organik seperti urea, asam amino, serta
range berbeda (Spencer, 1975).
c.
Siklus Fosfor
Di alam, fosfor terdapat dalam dua bentuk, yaitu
senyawa fosfat organik (pada tumbuhan dan hewan) dan senyawa fosfat anorganik
(pada air dan tanah). Fosfat organik dari hewan dan tumbuhan yang mati
diuraikan oleh decomposer (pengurai) menjadi fosfat anorganik. Fosfat anorganik
yang terlarut di air tanah atau air laut akan terkikis dan mengendap di sedimen
laut. Oleh karena itu, fosfat banyak terdapat di batu karang dan fosil. Fosfat
dari batu dan fosil terkikis dan membentuk fosfat anorganik terlarut di air
tanah dan laut. Fosfat anorganik ini kemudian akan diserap oleh akar tumbuhan
lagi. Siklus ini berulang terus menerus (Spencer, 1975).
2.5.Faktor
Pembatas
Sebagai
sebuah ekosistem yang kompleks, tentunya estuari memiliki parameter fisik dan
kimia tersendiri yang nantinya akan berpengaruh pada kemampuan atau toleransi
kehidupan biota yang terdapat disana. Beberapa faktor fisik, kimia, maupun
biotik lingkungan yang dapat menjadi faktor pembatas dalam ekosistem estuari
adalah:
a. Salinitas
Tingkat salinitas estuari berubah
dari waktu kewaktu dikarenakan oleh iklim, topografi estuari, pasang surut air laut,
dan volume air tawar yang masuk. Di daerah tropis seperti di Indonesia memiliki
iklim tropis dan pasang surut diurnal (dua kali pasang dan surut) dalam waktu
sehari semalam yang menyebabkan terjadinya fluktuasi salinitas yang mana waktu
terjadinya cukup pendek sekitar 6 jam.
Faktor pertama pengaruh salinitas
adalah fenomena pasang air laut yang besar mendorong air laut masuk cukup besar
dan sampai ke daerah hulu sungai. Sebaliknya apabila pasang sudah turun, maka
keadaan isohaline kembali ke daerah hilir saja. Hal ini menyebabkan pada daerah
yang sama di daerah estuari meimiliki salinitas yang berbeda pada waktu yang
berbeda sesuai perubahan akibat
pasang surut air laut dan volume air tawar yang masuk.
Faktor kedua yang mempengaruhi
tingkat salinitas adalah kekuatan coriolis, yaitu terjadinya pembelokan arah
gerak melingkar akibat rotasi bumi mengelilingi sumbunya. Berputarnya bumi pada
porosnya mengakibatkan perubahan arah gerakan air laut yang masuk ke daratan
(muara sungai), membelokannya kearah kanan dibelahan bumi sebelah utara dan
kearah kiri pada belahan bumi bagian selatan. Sebagai contoh di daerah estuaria
di sekitar pulau jawa bagian selatan, kekuatan coriolis akan membelokkan air
laut yang masuk ke estuaria kea rah kiri apabila kita melihat estuaria ke arah
laut. Akibatnya, pada dua titik yang berlawanan dan teletak pada jarak yang
sama dari laut akan memiliki salinitas yang berbeda.
Faktor ke tiga yang menyebabkan
fluktuasi salinitas di estuarin adalah musim. Di Indonesia dengan dua Faktor ke
tiga yang menyebabkan fluktuasi salinitas di estuarin adalah musim. Di
Indonesia dengan dua musim yang berbeda dalam setahun akan menyebabkan
perbedaan salinitas sebagai akibat berubahnya volume air tawar dan berubahnya
intensitas cahaya matahari.
Berdasarkan beberapa pengaruh kimia
dan fisik terhadap fluktuasi salinitas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam
ekosistem perairan estuarin terbentuk 3 zona yaitu: air tawar, air payau, dan
air laut. Antara zona-zona ini terdapat garis pemisah yang hanya dapat
dilewati oleh organisme yang memiliki kemampuan adaptasi fisiologi tertentu.
b. Suhu
Suhu air estuaria memiliki
fluktuasi harian lebih besar dibanding dengan perairan lainnya. Hal ini
disebabkan karena luas permukaan estuaria relatif lebih besar jika dibandingkan
dengan volume airnya. Air estuaria cenderung lebih cepat panas dan lebih cepat
dingin tergantung kondisi atmosfir yang melingkupinya. Alasan lain
bervariasinya suhu pada ekosistem estuarin adalah karena masuknya air tawar
yang suhunya lebih dipengaruhi oleh perubahan suhu musiman. Selain itu suhu di
estuaria juga bervariasi secara vertikal karena pengaruh fluktuasi suhu harian.
Perairan permukaan cenderung mempunyai kisaran suhu terbesar dibanding dengan
perairan yang lebih dalam.
c. Ombak
dan Arus
Terjadinya ombak tergantung pada
luas permukaan perairan dan juga angin. Estuaria memiliki luas perairan terbuka
yang sempit karena dibatasi oleh daratan pada ketiga sisinya, dengan demikian
angin yang bertiup untuk menciptakan ombak juga minimal. Kedalaman dan
sempitnya mulut estuaria juga menjadi penghalang terbentuknya ombak yang besar
atau menghilangkan pengaruh ombak laut yang masuk estuaria. Arus di estuaria
cenderung disebabkan oleh aksi pasang air laut dan aliran sungai. Kecepatan
arus tertinggi terjadi pada bagia tengah sungai/muara dimana hambatan gesek
dengan dasar dan tepian menjadi minimal. Arus di daerah estuaria sering
mengakibatkan timbulnya erosi dan biasanya diikuti oleh pengendapan di mulut
muara. Adanya perbedaan kecepatan arus yang berasal dari sungai dari musim ke
musim menyebabkan perbedaan kecepatan erosi dan pengendapan, sehingga banyak
kasus terutama di beberapa tempat di Indonesia muara sungai bergeser dari
tempat semula.
d. Substrat
Dasar
Kebanyakan estuaria didominasi oleh
substrat berlumpur yang berasal dari proses pengendapan material baik yang
dibawa oleh air laut maupun oleh air tawar dari aliran sungai. Air laut dan air
sungai membawa banyak partikel pasir maupun lumpur yang tersuspensi dan
keduanya bertemu di estuaria. Berbagai ion yang berasal dari laut akan mengikat
partikel Lumpur yang terbawa air sungai sehingga menggumpal dan mengendap
sebagai dasar substrat yang khas. Kondisi terlindung estuaria juga didominasi
oleh endapan halus (Lumpur). Di antara endapan lumpur adalah materi organik
sehingga estuaria menjadi tempat yang kaya cadangan bahan makanan bagi
organisme.
e. Kekeruhan
(Turbidisitas)
Besarnya jumlah partikel
tersuspensi menyebabkan pada waktu-waktu tertentu terutama pada saat musim
penghujan dimana volume air tawar meningkat dan membawa material akibat erosi
menyebabkan kekeruhan meningkat, demikian juga aktivitas pasang air laut.
Kekeruhan biasanya minimum pada mulut muara dan semakin meningkat kea rah hulu
sungai. Pengaruh ekologis kekeruhan adalah menurunnya daya penetrasi cahaya
matahari ke dalam perairan yang selanjutnya menurunkan produktivitas primer
akibat penurunan fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan bentik.
f. DO
(kandungan Oksigen)
Kandungan oksigen terlarut daerah
estuaria sangat tergantung beberapa faktor antara lain: suhu, salinitas,
pengadukan, dan aktivitas organisme. Melihat kondisi fisik daerah estuarin,
maka secara umum wilayah ini memiliki kandungan oksigen terlarut relative
tinggi dibanding perairan lain.
Pada musim kemarau yang panjang
dimana penggelontoran air tawar menurun dan suhu serta salinitas relatif tinggi
di permukaan perairan, menyebabkan proses pengadukan dan distribusi oksigen
dari permukaan ke dasar perairan sedikit terhambat sehingga kandungan oksigen
di dasar perairan menurun. Selain itu menurunnya kandungan oksigen di dasar
perairan juga dapat disebabkan karena tingginya bahan organik yang terdeposit
dan tingginya populsi dan individu bakteri di dalam sediment menyebabkan
meningkatnya pemakaian oksigen. Ukuran partikel dalam sediment yang halus juga
membatasi pertukaran air interstitial dan air yang diatasnya (kaya oksigen)
sehingga oksigen sangat cepat berkurang, bahkan pada beberapa sentimeter dalam
sedimen dapat bersifat anoksik.
g. Predasi
Predasi merupakan hubungan antara
mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini memiliki hubungan sangat erat,
karena tanpa mangsa predator tidak bisa bertahan untuk hidup. Jumlah antara
predator dan mangsa berbanding lurus. Semakin banyak predator yang terdapat
dialam tidak diimbangi dengan jumlah yang sama dengan mangsa, maka akan terjadi
ketidak seimbangan alam. Sebaliknya juga bila jumlah mangsa lebih banyak dengan
predator, maka jumlah organisme mangsa lebih banyak dan keseimbangan disini
juga akan terganggu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Predasi disini dapat berfungsi sebagai
pengontrol populasi mangsa. Contoh dalam ekosistem estuari adalah: Ikan yang menjadi predator bagi plankton dan
invertebrata dalam ekosistem estuari.
h. Jumlah
organisme autotrof
Organisme
autotrof merupakan organisme yang mampu menghasilkan zat organik yang
dibutuhkan oleh konsumen. Organisme ini tentunya membutuhkan bahan berupa
zat-zat anorganik yang terdapat dialam dengan bantuan matahari biasa disebut
prosesnya yaitu fotsintesis. Sehingga terbentuklah glukosa yang organik tadi.
Keberadaan
autotrof sangat mempengaruhi organisme yang lain pula. Sebab, apabila organisme
ini jumlahnya sedikit bahkan mengalami peniadaan maka yang terjadi organisme
sebagai konsumen akan ikut berkurang juga. Karena sumber untuk memacu
kehidupannya menghilang. Organisme yang termasuk dalam organisme autotro adalah
organisme berklorofil yang terdiri atas: tumubuhan, bakteri fotosintetik, dan
alga fotosintetik (Odum,
1998).
i.
Usia
Usia
sebgai faktor pembatas organisme ini berhubungan dengan tingkat produktivitasnya.
Produktivitas menunjukkan kemampuan makhluk hidup untuk melakukan proses
metabolisme tubuhnya dan penghasilan energi. Energi yang digunakan untuk
kehidupannya, terdapat rentangan usia tersendiri pada makhluk hidup agar dia
mampu menghasilkan banyak energi. Dikatakan kemampuan produktivitas tinggi
apabila makhluk hidup tersebut dikatakan muda sampai rentang waktu usia
tertentu. Sehingga reproduksi, pertumbuhan, dan perkembangan pun cepat.
Sebaliknya bila makhluk hidup tersebut dikatakan usia telah lanjut, kemampuan
produktivitasnya menurun. Karena kemampuan penghasilan energi pun menurun
sehingga banyak terjadi kematian pada sel organisme tersebut (Odum, 1998).
j.
Jumlah Parasit
Parasitisme
adalah hubungan antara dua makhluk yang mana salah satu organisme dirugikan
sedangkan yang lain mendapat manfaat. Parasit merupakan organisme yang mendapat
keuntungan dari hubungan ini, sementara inang yang menjadi rumahnya sangat
dirugikan karena hasil metabolisme dan sari-sari makanan yang ada diambil oleh
parasit. Dalam hubungan ini, ukuran organisme parasit lebih kecil dari inang,
sehingga lebih mudah untuk organisme parasit untuk menghambat kehidupan
organisme inang. Berakibat berbahaya bagi keseimbangan alam, apabila jumlah
parasit lebih besar daripada organisme yang lain (Odum, 1998).
BAB 3 SIMPULAN
Adapun kesimpulan yang diambil dari makalah tentang estuari ini adalah ekosistem
estuari adalah ekosistem perairan semi-tertutup yang memiliki badan air dengan
hubungan terbuka antara perairan laut dan air tawar yang dibawa oleh sungai. Estuari sebagai sebuah ekosistem
memiliki macam-macam tipe dilihat dari berbagai aspek yaitu salinitas dan
geomorfologi, iklim dan sejarah.
Ekosistem
estuari memiliki salinitas yang tidak konstan. Salah satu penyebabnya adalah dikarenakan
adanya percampuran air tawar yang terbawa arus sungai dan aliran air dari
pasang surut air laut. Hal ini membuat ekosistem estuari bersifat unik, selain
dari segi tingkat salinitasnya juga dapat dilihat dari segi organisme yang
hidup menempatinya. Jenis organisme yang menempati ekosistem
estuar merupakan percampuran dari
organisme perairan tawar dan perairan laut sehingga memiliki
adaptasi khusus terhadap lingkungannya.
Aliran
energi dan siklus materi yang terjadi dalam ekosistem estuari hampir sama dengan
ekosistem yang lain. Namun, perbedaannya terletak pada organisme sebagai subjek proses siklus
materi dan aliran energi. Selain itu perbedaan terletak pada konsentrasi dari masing-masing materi
dalam proses siklus materi yang terjadi dalam estuari. Disamping
itu terdapat faktor pembatas ekosistem estuary berupa salinitas, suhu, ombak
dan arus, substrat dasar, kekeruhan, DO, predasi, jumlah autotroph, usia serta
jumlah parasit.
DAFTAR PUSTAKA
Barus, T.A. 2002. Pengantar Limnologi. Medan: Universitas
Sumatra Utara.
Bengen, D.G. 2001. Ekosistem dan
Sumberdaya Pesisir dan Laut serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan. Prosiding Pelatihan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Terpadu, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB.
Jawa Barat.
Brotowidjoyo, Mukayat D, dkk. 1995.
Pengantar Lingkungan Perairan dan
Budidaya Air. Yogyakarta: Liberty.
Dahuri et al. 2001. Pengelolaan
Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya
Paramitha.
Knox,G.A. 1986. Estuarine Ecosystem: A System Approach.
Florida: CRC Press
Kramer, K.J.M.1994. Tidal
Estuaries: Manual of Sampling and Analittycal Procedure. AA Balkema.
Nontji, A, 1993. Laut Nusantara.
Jakarta: Penerbit Djambatan..
Odum, E.P.1998. Dasar-Dasar
Ekologi edisi 4. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Saptarini et al.1995. Pengelolaan
Sumberdaya Kelautan dan Wilayah Pesisir. Jakarta: Dirjen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Spencer, C.P. 1975. The Micronutrient
Ele-ment. In: Chemical
Oceanography 2. J.P. Riley and G.Kinow (Eds). Academic Press London-New
York.
Welch, P.1953. Limnology. New York: McGraw-Hill
book,Co.Inc.
{ 1 komentar... read them below or add one }
silahkan isi komentar anda, karena komentar anda sangat penting untuk perkembangan blog ini......
Terima Kasih
terimakasih atas tambahan wacananya
BalasHapus